Kamis, 13 Mei 2010

XXII. Kaidah Istifham (pertanyaan mencari pemahaman)

Istifham adalah mencari pemahaman tentang sesuatu hal yang belum diketahui.

Kata tanya (adatul istifham) terbagi dalam dua kategori :

a. Huruf istifham, berupa hamzah dan hal yang artinya apakah.

Huruf hamzah, digunakan untuk menanyakan tentang apa atau siapa yang jawabannya memerlukan ya atau tidak, seperti pada QS [5] : 116 :

“Dan ingatlah ketika Allah berfirman, “Hai Isa putra Maryam! Engkaukah yang berkata kepada orang : Sembahlah aku dan ibuku sebagai tuhan selain Allah ?” Ia berkata, “Maha suci Engkau! Tidak sepatutnya aku mengatakan apa yang bukan menjadi hakku”.

Lafazh hal, adalah kata tanya untuk konfirmasi, yang memerlukan jawaban : Ya atau tidak, seperti pada QS [76] : 1 :

“Bukankah sudah berlalu pada manusia masa yang panjang dari waktu ketika dia bukan apa-apa (bahkan) tidak disebut-sebut ?”.

b. Isim istifham, yaitu semua kata tanya selain yang nomor 1, yaitu : apa (ma), siapa (man), bagaimana (kaifa), kapan (mata), bilamana (ayyana), dari mana (anna), berapa (kam), dimana (aina), apa, siapa (ayyu)

a. Lafazh ma (apa), digunakan untuk menanyakan sesuatu yang tak berakal, seperti pada QS [74] : 42-43 :

“Apa yangmembawa kamu kedalam api neraka ?” Mereka berkata , “Kami tidak termasuk golongan orang yang shalat.”

b. Lafazh man (siapa), untuk menanyakan makhluk berakal, seperti pada QS [2] : 245 :

“Siapakah yang hendak meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, yang akan Ia lipat gandakan gantinya dengan sebanyak-banyaknya? Allah akan memberi (kepadamu) kesempitan dan kelapangan (rejeki), dan kepadaNya kamu dikembalikan.”

c. Lafazh mata (kapan), digunakan untuk menanyakan waktu, baik yang lampau maupun yang akan datang, seperti pada QS [2] : 241 :

“Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga tanpa suatu cobaan seperti dialami mereka sebelum kamu? Mereka mengalami penderitaan dan malapetaka dan jiwa mereka begitu tergoncang, sehingga Rasul pun berkata bersama orang-orang yang beriman , “Bilakah datangnya pertolongan Allah? “Ya, sungguh pertolongan Allah sudah dekat!”

d. Lafazh ayyana (bilamana), digunakan untuk menanyakan sesuatu berkenaan dengan waktu mendatang, seperti pada QS [75] : 6 :

“Ia bertanya, “Bilakah hari kiamat itu ?”

e. Lafazh kaifa (bagaimana), untuk menanyakan keadaan sesuatu, seperti pada QS [3] : 101 :

“Dan bagaimana kamu akan mengingkari padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu dan ditengah-tengah kamu pun ada Rasul-Nya?”

f. Lafazh anna (dari mana), untuk menanyakan asal-usul, seperti pada QS [19] : 8 :

“Dia berkata, “Tuhanku, bagaimana aku akan mendapatkan anak, sedang istriku mandul dan aku sudah dalam usia renta ?”

g. Lafazh kam (berapa), digunakan untuk menanyakan jumlah atau bilangan, seperti pada QS [2] : 259 :

“Atau seperti orang yang melewati sebuah dusun yang sudah runtuh sampai ke atap-atapnya, ia berkata, “Oh, bagaimana Allah menghidupkan semua ini setelah mati ? “lalu Allah membuat orang itu mati selama seratus tahun kemudian membangkitkannya kembali. Lalu Allah bertanya, “Berapa lama kamu tinggal disini ?” Ia menjawab, “Saya tinggal disini sehari atau setengah hari”. Allah berfirman, “Tidak, bahkan seratus tahun.”

h. Lafazh aina (dimana), digunakan untuk menanyakan tempat, seperti pada QS [81] : 26 :

“Maka kemanakah kamu akan pergi ?”

i. Lafazh ayyu, untuk menanyakan apa atau siapa, seperti pada QS [6] : 81 :

“Manakah dari kedua golongan yang lebih berhak mendapat keamanan? (katakanlah) jika kamu mengerti.”

XXIII. Kaidah Tanya – Jawab

A. Ragam Tanya – Jawab

Suatu riwayat asbabun nuzul menyebutkan bahwa sekelompok orang bertanya kepada Nabi Muhammad tentang bulan sabit, mengapa mula-mula terlihat kecil seperti benang, lalu bertambah sedikit demi sedikit hingga purnama, kemudian berkurang lagi hingga kembali ke keadaan semula. Untuk menjawab hal itu maka Allah menurunkan ayat QS Al-Baqarah [2] : 189 :

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan-bulan baru. Katakanlah, itu tanda-tanda waktu untuk manusia dan untuk musim haji.”

Jawaban yang diberikan tidak sepenuhnya sesuai dengan apa yang ditanyakan. Jawaban demikian merupakan kehendak Allah. Maksudnya, jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan. Redaksi semacam ini oleh Al-Salaki, seperti dikutip As-Suyuthi disebut uslub hakim.
Adakalanya jawaban yang diberikan lebih luas dari yang ditanyakan, misalnya dalam QS [6] : 63-64 :

“Katakanlah , “Siapakah yang menyelamatkan kamu dari bahaya yang mengerikan di darat dan di laut, kamu berdoa kepadaNya dengan rendah hati dan suara lembut. Sekiranya Dia menyelamatkan kami dari (bahaya) ini tentulah kami akan bersyukur ? “ Katakanlah, “Allah akan menyelamatkan kamu dari segala bencana. Namun kamu kemudian mempersekutukannya !”

Adakalanya jawabannya lebih sempit cakupannya daripada yang ditanyakan. Misalnya pada QS [10] : 15 :

“Bila kepada mereka ayat-ayat Kami dibacakan dengan jelas, mereka yang tidak mengharapkan bertemu dengan Kami berkata, “Bawakanlah bacaan lain dari ini, atau gantilah !” Katakanlah, “Tiada semestinya aku menggantikannya atas kemauanku sendiri. Aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku. Jika tidak mentaati Tuhanku aku takut akan azab hari maha dahsyat (yang akan datang).”

B. Bentuk-Bentuk Pertanyaan dan Jawaban Dalam Al-Qur’an

1. Jawaban bersambungan dengan pertanyaan, contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 215 :

“Mereka bertanya kepadamu, apa yang mereka nafkahkan, Katakanlah : Apa saja yang baik yang kamu nafkahkan hendaknya kepada ibu-bapak dan kearabat, kepada anak yatim dan orang miskin dan kepada orang terlantar dalam perjalanan. Dan segala perbuatan baik yang kamu lakukan, Allah mengetahuinya.”

2. Jawaban terpisah, baik terdapat dalamsatu surat maupun dalam dua surat yang berlainan, contohnya pada QS [25] : 7 :

“Dan mereka berkata : “Rasul macam apa ini, makan makanan dan berjalan di pasar-pasar ? Kenapa tidak diturunkan seorang malaikat kepadanya dan bersama-sama memberi peringatan.”

Jawabannya ada pada ayat yang berbeda, yaitu ayat 20 pada surat yang sama :

“Dan Rasul-Rasul yang kami utus sebelummu, mereka memakan makanan dan berjalan-jalan di pasar.”

3. Dua jawaban dalam satu surat untuk satu pertanyaan, contohnya QS [43] : 31-32 :

“Mereka berkata, “Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada orang penting dari kedua kota ini ? ”Ataukah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu ? Kamilah yang membagi-bagikan penghidupan diantara mereka.”

4. Jawaban lainnya ada pada QS [28] : 68 :

“Dan tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Ia kehendaki. Bagi mereka tak ada pilihan.”

5. Pertanyaan yang tidak diberikan atau tidak memerlukan jawaban, contohnya pada QS [47] : 14 :

“Adakah orang yang berpegang pada (jalan) yang terang dari Tuhannya, sama dengan orang yang menganggap indah perbuatannya yang buruk dan mengikuti hawa nafsu mereka ?”

6. Jawaban yang disebutkan mendahului pertanyaan, contohnya pada QS [38] : 4

“Shad, demi Al-Qur’an yang penuh peringatan.”

Ayat diatas sebagai jawaban atas pertanyaan keheranan orang musyrik Mekkah yang disebutkan lebih dahulu dari pertanyaan keheranan mereka pada ayat sesudahnya, yaitu QS [38] : 4 :

“Mereka keheranan ada seorang pemberi peringatan datang dari kalangan mereka sendiri, orang-orang kafir lalu berkata : dia seorang seorang tukang sihir dan pendusta.”

XXIV. Kaidah Syarat – Jawab

Dalam ilmu nahwu (tata bahasa Arab), kata-kata syarat (adawatusy-yarth) itu terbadi dalam dua bagian :

1. Kata syarat yang menjazamkan fi’il : in, idzma, ma, mata, man, kaifama, haitsuma, aina, ayyana, ayyun dan mahma.

2 Kata syarat yang tidak menjazamkan : lau, laula, idza, kullama dan lamma.

Kalimat yang didahului dengan kata syarat dinamakan jumlah syarthiyyah.

Beberapa Contoh Kata Syarat Dalam Al-Qur’an :

1. In (jika) dalam QS Al-Baqarah [2] : 284.

2. Idza (bila, jika) dalam QS [110] : 1-3.

3. Man (barang siapa) dalam QS [4] : 110.

4. Mahma (apapun) dalam QS [7] : 132

5. Aina (dimana) dalam QS [4] : 78.

6. Ayyun (apa) dalam QS [17] : 110.

7. Lau (jikalau, kiranya) dalam QS [9] : 42.

Perbedaan Penggunaan In dan Idza :

Menurut ketentuan asal, mutakallim (orang pertama) tidak bisa memastikan terjadinya apa yang disyaratkan di waktu mendatang. Untuk itu digunakan kata syarat in. Ia dipakai dalam kondisi yang jarang terjadi dan harus bedampingan dengan lafazh mudhari’ (kata kerja sekarang atau yang akan datang), sebab terdapat segi keraguan tentang terjadinya.

Adapun kata syarat idza, menurut asalnya dipakai dalam keadaan mutakallim optimis terjadinya apa yang disyaratkan dimasa yang akan datang. Oleh karena itu, idza tidak dipakai kecuali dalam beberapa keadaan yang banyak terjadi dan berdampingan dengan bentuk madhi (kata kerja bentuk lampau), karena bentuk ini menunjukkan hal yang pasti terjadi, contohnya dalam QS [7] : 131 :

“Bila mereka mangalami musim yang baik, mereka berkata, “Inilah usaha kami. “Tetapi jika mereka ditimpa yang buruk, mereka melemparkan sebab-sebabnya pada Musa dan pengikutnya. Ketahuilah, nasib mereka ditangan Allah; tapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”

Hadzf Jawabusy Syarth

Menurut As Sa’di yang dikutip Abd. Rahman Dahlan dalam bukunya Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qur’an, apabila jawabusy-syarth dari jumlah syartiyyah dibuang, itu menunjukkan pentingnya masalah yang dibicarakan. Jika ia membicarakan masalah siksa maka itu menunjukkan dahsyatnya siksaan tersebut, contohnya :

“Sekiranya engkau dapat melihat ketika orang-orang jahat menundukkan kepala dalam-dalam dihadapan Tuhan (sambil berkata), “Tuhan, kami melihat dan mendengar. Maka kembalikanlah kami (ke dunia); kami akan mengerjakan amal kebaikan. Sungguh, (sekarang) kami telah yakin.” (QS [32] : 12).

“Sekiranya kau lihat ketika mereka dalam ketakutan, tapi tak dapat melarikan diri, dan keadaan mereka ditangkap dari tempat yang dekat dan mereka berkata, “Kami sekarang percaya (pada kebenaran). “Tapi bagaimana mereka akan beriman dari tempat yang jauh dan sebelumnya mereka sudah menolaknya dan mereka (terus-menerus) melemparkan (penghinaan) kepada yang ghaib dari tempat yang jauh.” (QS [34] : 51-53).

XXV. Kaidah Petunjuk Kata (Dalalah Lafazh)

Petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna adakalanya berdasarkan pada bunyi (mantuq, makna eksplisit yang tersirat) dan adakalanya pula berdasarkan pemahaman (mafhum, makna implisit yang tersirat).

A. Mantuq
Mantuq adalah makna lahir yang tersurat (eksplisit) yang tidak mengandung kemungkinan pengertian ke makna yang lain.

Mantuq terdiri atas 5 (lima) kategori :

1. Nash, ialah lafazh yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang dimaksud secara jelas (sharih), tidak mengandung kemungkinan makna lain. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 196 :

“Maka (wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali,

itulah sepuluh (hari) yang sempurna.”

Penyifatan “sepuluh” dengan “sempurna” telah mematahkan kemungkinan “Sepuluh” ini diartikan lain secara majaz (kiasan). Inilah yang dimaksud dengan nash.

2. Zahir, ialah lafazh yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh). Jadi zahir itu sama dengan nash dalam hal petunjuk lafazhnya kepada bunyi yang tersurat. Namun dari segi lain ia berbeda dengan nash, karena zahir masih disertai kemungkinan menerima makna lain meskipun lemah. Misalnya dalam QS Al-Baqarah [2] : 173 “famanidlthurro ghaira baghi wa la ‘ad.” Lafazh “al-bagh” digunakan untuk makna “al-jahil” (bodoh, tidak tahu) dan “az-zalim” (melampaui batas, zalim). Tetapi pemakaian untuki makna kedua lebih tegas dan populer sehingga makna inilah yang kuat (rajih), sedang makna yang pertama lemah (marjuh), Juga dalam QS Al-Baqarah [2] : 222 :

“Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci ….”

Berhenti haid dinamakan “suci” (tuhr), berwudhu dan mandi pun disebut “tuhr”. Namun penunjukan kata “tuhr” kepada makna kedua (mandi) lebih tepat, jelas (zahir) sehingga itulah makna yang rajih (kuat), sedangkan penunjukan kepada makna yang pertama (berhenti haid) adalah marjuh (lemah).

3. Mu’awwal, adalah lafazh yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang lebih rajih. Mu’awwal berbeda dengan zahir; zahir diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang marjuh, sedangkan mu’awwal diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi masing-masing kedua makna ini ditunjukkan oleh lafazh menurut bunyi ucapan yang tersurat. Misalnya dalam QS rendahkan SAYAP

4. Dalalah istida’ adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang tepat terkadang bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] ; 184 :

“Maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (wajiblah berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.”

Ayat ini memerlukan suatu lafazh yang tidak disebutkan yaitu “lalu ia berbuka”, sebab kewajiban qada puasa bagi musafir itu hanya apabila ia berbuka dalam perjalanannya itu. Sedangkan jika ia tetap berpuasa maka baginya tidak ada kewajiban qada. Contoh yang lain pada QS An-Nisa’ [4] : 23 :

“Diharamkan atas kamu ibu-ibumu”

Ayat ini memerlukan adanya adanya kata-kata yang tidak disebutkan, yaitu kata “bersenggama”, sehingga maknanya yang tepat adalah “diharamkan atas kamu (bersenggama) dengan ibu-ibumu.”

5. Dalalah Isyarah adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang tepat berdasarkan kepada isyarat lafazh. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] ; 187 :

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutiah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagi kamu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar… “

Ayat ini menunjukkan sahnya puasa bagi orang-orang yang pagi-pagi hari masih dalam keadaan junub, sebab ayat ini membolehkan berc ampur sampai dengan terbit fajar sehingga tidak ada kesempatan untuk mandi. Keadaan demikian menuntut atau memaksa kita berpagi dalam keadaan junub. Membolehkan melakukan penyebab sesuatu berarti membolehkan pula melakukan sesuatu itu. Maka membolehkan “bercampur” sampai pada bagian waktu terakhir dari malam yang tidak ada lagi kesempatan untuk mandi sebelum terbit fajar, berarti membolehkan juga berpagi dalam keadaan junub.

B. Mafhum

Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafazah tidak berdasarkan pada bunyi ucapan yang tersurat, melainkan berdasarkan pada pemahaman yang tersirat.

Mafhum terdiri atas 2 (dua) jenis :

a. Mafhum muwafaqah (perbandingan sepadan), yaitu makna yang hukumnya sepadan dengan mantuq.

1. Fahwal khitab, yaitu apabila makna yang dipahami itu lebih harus diambil hukumnbya daripada mantuq. Misalnya pada QS Al-Isra’ [17] : 23 :

“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan ‘ah’ .”

Ayat ini mengharamkan perkataan “ah” yang tentunya akan menyakiti hati kedua orang tua, maka dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti mencaci-maki, memukul lebih diharamkan lagi, walaupun tidak disebutkan dalam teks ayat.

2. Lahnul Khitab, yaitu apabila mafhum sama nilainya dengan hukum mantuq. Misalnya pada QS An-Nisa’ [4] : 10 :

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya … “

Ayat ini melarang memakan harta anak yatim, maka dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti : membakar, menyia-nyiakan, merusak, menterlantarkan harta anak yatim juga diharamkan.

b. Mafhum Mukhalafah (perbandingan terbalik), yaitu makna yang hukumnya kebalikan dari mantuq.

3. Mafhum sifat, yang dimaksud adalah sifat ma’nawi, contohnya pada QS Al-Hujurat [49] : 6 :

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti … “

Ayat ini memerintahkan bertabayun (memeriksa, meneliti) berita yang dibawa oleh “orang fasik”. Maka dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) bahwa berita yang dibawa oleh orang yang tidak fasik tidak perlu diperiksa, diteliti. Ini berarti berita dari orang yang adil dan tsiqoh wajib diterima.

4. Mafhum syarat, yaitu memperhatikan syaratnya. Contohnya seperti pada QS At-Talaq [65] : 6 :

“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkah.”

Dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) berarti istri yang ditalak tidak sedang dalam keadaan hamil, tidak wajib diberi nafkah.

5. Mafhum gayah (maksimalitas), misalnya pada QS Al-Baqarah [2] : 230 :

“Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain … “

Dengan pemahaman terbalik, maka bila mantan istri yang sudah ditalak tiga kali kemudian menikah lagi dengan lelaki lain dan kemudian bercerai maka menjadi halal dikawin lagi.

6. Mafhum hasr (pembatasan, hanya), misalnya pada QS Al-Fatihah [1] : 5 :

“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan … “

Dengan pemahaman terbalik maka tidak boleh menyembah selain Allah dan tidak boleh memohon pertolongan kepada selain Allah.

0 komentar:

geomap

Template by : kendhin x-template.blogspot.com