Jumat, 14 Mei 2010

XI. Aliran Mu’tazilah

Kata Mu’tazilah berasal dari kata ‘itazala, artinya menyisihkan diri. Imam Hasan Al Basri (wafat 110 H) adalah seorang tabi’in besar di Basrah yang mempunyai perguruan di Masjid Raya kota Basrah. Diantara murid-muridnya yang tergolong pandai adalah Washil bin Atho’ (wafat 131 H). Suatu hari Imam Hasan Al Basri menerangkan bahwa seorang muslim yang melakukan dosa besar, lalu ia meninggal sebelum bertaubat, menurut Imam Hasan Al Basri orang itu tetap muslim, hanya saja muslim yang durhakan dan nanti kelak di akhirat akan dimasukkan neraka sebagai hukum atas perbuatan dosanya sampai batas waktu tertentu. Setelah itu ia akan dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga.

Washil bin Ato’ menyanggah pendapat gurunya tersebut dan mengemukakan pendapat yang berbeda. Ia berpendapat bahwa seorang muslim yang melakukan dosa besar dan meninggal sebelum ber-taubat termasuk fasik, tidak muslim dan tidak kafir. Di ahirat nanti akan berada pada suatu tempat antara surga dan neraka. Karena itu Washil memisahkan diri dari majelis gurunya dan membentuk halaqoh pengajian sendiri disalah satu sudut masjid Basrah. Washil bin Atho’ diikuti oleh salah seorang temannya yang setia yaitu Amr bin Ubaid (wafat 144 H). Terjadinya peristiwa tersebut merupakan awal timbulnya firqoh Mu’tazilah. Saat itu Khalifah Bani Umayyah yang sedang berkuasa adalah Hisyam bin Abdul Malik (101 – 125 H).



Pusat pergerakan Aliran Mu’tazilah :

1. Basrah, pada permulaan abad ke-2 Hijriah, dipimpin Washil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid. Pada permulaan abad ke-3 Hijriah dipimpin oleh Abu Hudzail Al Allaf (w. 221 H), Ibrahim bin Sayyar An Naddham (w 221 H), Abu Basyar Al Marisi (w 218 H), Utsman Al Jahiz (w 255 H), Ibnu Al Mu’ammar (w 210 H) dan Abu Ali Al Juba’i (w 303 H).

2. Baghdad, dipimpin oleh Basyar bin Al Mu’tamar dibantu oleh Abu Musa Al Murdan, Ahmad bin Abi Dawud (w 240 H), Ja’far bin Mubasysyar ( w 234 H) dan Ja’far bin Harib Al Hamdani (w 235 H).



Ajaran-ajaran Mu’tazilah mendapat dukungan dari penguasa Bani Umayyah yaitu Khalifah Yazid bin Walid (125-126 H), sedangkan dari Bani Abbasyah : Al Ma’mun (198-218 H), Al-Mu’tashim (218-227 H), Al-Watsiq (227-232 H). Karena didukung penguasa faham-faham Mu’tazilah menjadi tersebar luas. Ulama-ulama Mu’tazilah yang terkenal, diantaranya :

1. Utsman Al Jahiz (w. 255 H) mengarang kitab Al Hiwan.

2. Syarif Radli (w. 406 H) mengarang kitab Majazul Qur’an.

3. Abdul Jabbar bin Ahmad, lebih dikenal dengan Qadli Qudlot, mengarang kitab Syarah Ushulil Khamsah.

4. Zamakhsyari (w. 528 H) mengarang kitab tafsir Al-Kasysyaf.

5. Ibnu Abil Haddad (w. 655 H) mengarang kitab Syarah Nahjul Balaghah.



Aliran Mu’tazilah banyak terpengaruh oleh unsur-unsur dari luar Islam. Mereka dikenal giat mempelajari kitab-kitab filsafat Yunani untuk mempertahankan pendapat-pendapatnya, terutama filasaf Platodan Aristoteles. Ilmu logika sangat menarik perhatian mereka, karena menunjang berfikir logis dan sistematis. Aliran Mu’tazilah dikenal lebih mengedepankan akal pikiran (rasio) dan liberal, baru sesudah itu merujuk pada nash-nash Al-Qur’an atau hadits.

Ciri khas lainnya dari kelompok Mu’tazilah adalah suka berdebat, terutama dihadapan umum. Mereka yakin dengan kemapuan logika dan akal pikiran mereka, kerena itu mereka suka berdebat dengan siapa saja yang berbeda pendapat dengan mereka.

Meskipun firqoh Mu’tazilah terpecah lagi menjadi 22 sekte, namun semuanya masih mempunyai lima prinsip ajaran yang mereka sepakati yaitu ushulil khamsah, yaitu :

1. Tauhid, bahwa Allah itu Esa. Mereka menolak sifat-sifat Allah, menetapkan sifat-sifat bagi Allah dianggap menodai ke Esa an Allah.

2. Keadilan Tuhan, menetapkan bahwa Allah itu adil memberi pahala bagi yang berbuat baik dan menyiksa yang berbuat dosa, mendukung faham kehendak bebas (Qadariah) dan menolak paham Jabariyah.

3. Janji dan Ancaman, Mereka berpendapat karena Allah itu Maha Adil, maka mereka mewajibkan bagi Allah memberi pahala dan surga bagi yang berbuat baik dan menyiksa dalam neraka bagi yang berbuat jahat. Kalau hal itu tidak dipenuhi maka Allah dinilai tidak adil.

4. Manzilah baina Manzilatain (tempat diantara dua tempat), seorang muslim yang melakukan dosa besar maka menjadi fasik yaitu diantara muslim dan kafir. Bila sampai meninggal belum bertaubat, mereka berpendapat orang tersebut akan berada pada suatu tempat diantara surga dan neraka.

5. Amar ma’ruh nahi munkar, mereka dikenal gigih memberantas pemikiran-pemikiran sesat aliran kebatinan dan yang tidak rasional. Bahkan sampai kepada hal-hal yang melampaui batas yaitu ketika mereka dengan dukungan penguasa Bani Abbas mempropagandakan kemahklukan Al-Qur’an.



Peristiwa Mihnah

Pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid, salah seorang ulama Mu’tazilah bernama Basyar Al Marisy melontarkan pendapat bahwa “Al-Qur’an adalah makhluk”. Pada waktu itu Khalifah Harun Al-Rasyid mengancam orang-orang yang berpendapat seperti itu dengan hukuman yang berat. Bahkah Khalifah Harun Al-Rasyid pernah berkata : “Jika Allah SWT memberiku umur panjang, bila aku berjumpa dengan Basyar, niscaya akan aku bunuh dia dengan pembunuhan yang belum pernah aku jatuhkan kepada orang lain.”

Maka Basyar Al Marisy pun ketakutan dan menyembunyikan diri dalam waktu sekitar 20 tahun, hingga Khalifah Harun Al-Rasyid meninggal. Sepeninggal Khalifah Harun Al-Rasyid, barulah Basyar keluar menampakkan diri dan menyebarkan fahamnya ditengah masyarakat ramai. Maka ajaran ini menjadi buah bibir dan pembicaraan yang ramai ditengah masarakat, namun Khalifah Al-Amin pengganti ayahnya Harun Al-Rasyid masih bisa mengatasinya dan memberikan ancaman dan hukuman berat kepada orang-orang yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.

Ketika pemerintahan berada pada Khalifah Al-Ma’mun (saudara Al-Amin), orang-orang Mu’tazilah mendapat hati disisi Khalifah dan mereka berhasil mempengaruhi Khalifah Al-Ma’mun dan mendukung faham bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.

Khalifah Al-Ma’mun (198-218 H) dikenal penganut dan pendukung utama aliran rasionalis Mu’tazilah. Atas usulan menterinya yang menjabat sebagai Qadhi Qudhat bernama Ahmad bin Abi Daud yang juga pentolah aliran Mu’tazilah. Pada tahun 215 H Khalifah Al-Ma’mun yang sedang berada di Tharsus memerintahkan pejabatnya di Baghdad yang bernama Ishaq bin Ibrahim yang juga seorang penganut Mu’tazilah untuk memprogandakan ajaran “Al-Qur’an adalah Makhluk” dan memaksakan faham itu kepada seluruh rakyat dan para ulama.

Menurut kitab Tarikh At-Thabari, dalam suratnya kepada Ishaq bin Ibrahim, Al-Ma’mun menuliskan :

“Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya.” (QS Az-Zukhruf : 3)

Semua orang tahu bahwa apa pun yang Allah jadikan adalah merupakan coptaan-Nya dengan demikian dia (Al-Qur’an) adalah makhluk. Sedangkan Allah berfirman :

“Dan Dia jadikan kegelapan dan cahaya.” (QS Thaha : 99)

dan firman-Nya :

“Demikianlah kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang telah lalu.” (QS Thaha : 99).

Dalam dua ayat ini Allah memberitahukan bahwa Dia mengisahkan beberapa kisah yang terjadi setelah Dia ciptakan. Allah jug berfirman :

“(Inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci.” (QS Hud : 1)

Allah telah menyusun kitab-Nya dengan rapi dan menjelaskannya. Dengan demikian jelas Dia adalah pencipta Al-Qur’an, maka yang diciptakan berarti makhluk.”

(perhatikan betapa rasionalnya cara pemikiran kaum Mu’tazilah)

Hampir semua ulama besar dipanggil ke Baghdad untuk diuji apakah mereka sependapat dengan faham mereka. Bila tidak sependapat para ulama itu dipaksa bahkan disiksa. Akhirnya sebagian besar ulama banyak yang dengan terpaksa pura pura mengikuti pendapat mereka karena takut dibunuh.

Salah satu ulama yang diinterogasi adalah Imam Ahmad bin Hanbal, beliau satu-satunya yang tidak mau mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Berikut ini tanya jawab antara Ishaq bin Ibrahim dengan Imam Ahmad bin Hanbal :



Ishaq bin Ibrahim : “Bagaimana pendapatmu tentang Al-Qur’an ?”

Ahmad bin Hanbal : “Al-Qur’an adalah Kalamullah.”



Ishaq bin Ibrahim : “Apakah ia makhluk ?”

Ahmad bin Hanbal : “Ia Kalamullah aku tidak menambahi yang lebih dari itu.”



Ishaq bin Ibrahim : “Apakah arti bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha Melihat ?”

Ahmad bin Hanbal : “Itu seperti apa yang Dia sifatkan kepada diri-Nya.”



Ishaq bin Ibrahim : “Apa maksudnya ?”

Ahmad bin Hanbal : “Aku tidak tahu, Dia seperti apa yang Dia sifatkan bagi diri-Nya.”



Karena pendiriannya itu Imam Ahmad bin Hanbal dipenjara dan dihukum cambuk dan aneka perlakuan kasar lainnya. Salah seorang sahabatnya yang bernama Abu Bakar Al Mawarzi, ketika menjenguknya berusaha membujuk dan menasehati beliau : “Ahmad, mereka memukuli anda, padahal Allah telah berfirman : Janganlah kamu menjatuhkan dirimu dalam kebinasaan.” Maka Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Silahkan nada keluar dari sini, dan lihatlah yang diluar sana.” Maka Abu Bakar Al Mawarzi pun melihat keluar dilihatnya banyak orang berkerumun diserambi istana Khalifah membawa kertas dan pena. Abu Bakar Al Mawarzi pun bertanya, “Untuk apa kalian membawa kertas dan pena ?” Orang-orang itu menjawab, “Kami menunggu dan akan menuliskan apa yang diucapkan Imam Ahmad bin Hanbal.” Abu Bakar Al Mawarzi kembali lagi dan menceritakan hal itu kepada Imam Ahmad bin Hanbal, kemudian Imam Ahmad berkata : “ Wahai Mawarzi apakah aku akan menyesatkan mereka semua ?, aku yakin tidak. Biarlah aku mati, asalkan aku tidak menyesatkan orang-orang itu.” Abu Bakar Al Mawarzi lalu berguman : “Ia mengorbankan dirinya karena Allah.”

Nyaris saja Imam Ahmad bin Hanbal akan dibunuh, kalau saja tidak datang khabar dari Tharsus bahwa Khalifah Al-Ma’mun telah meninggal secara mendadak.

Sepeninggal Al-Ma’mun faham Al-Qur’an adalah makhluk masih dilanjutkan oleh Khalifah penggantinya yaitu Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq. Propaganda itu baru berhenti setelah ada peristiwa Al-Watsiq menginterogasi seorang ulama bernama Abu Abdurrahman Abdullah bin Muhammad Adzrami (guru Imam Abu Dawud dan Imam An-Nasa’i) yang juga dihadiri oleh tokok-tokoh ulama Mu’tazilah

Al-Watsiq bertanya kepada para tokoh Mu’tazilah : “Beritahukan kepada saya tentang seruan kalian kepada manusia itu –maksudnya tentang kemakhlukan Al-Qur’an- apakah Rasulullah mengetahuinya, namun dia tidak menyerukannya kepada manusia, atau beliau sama sekali tidak mengetahuinya ?”

Seorang ulama Mu’tazilah, berkata : “Rasulullah pasti tahu tentang itu.”

Abu Abdurrahman Abdullah bin Muhammad Adzrami yang dalam keadaan diborgol, berkata : “Rasulullah mampu bersabar tidak menyeru manusia kepada apa yang diketahuinya, sedangkan kalian tidak mampu.”

Mendengar jawaban yang diplomatis dan cerdik itu Al-Watsiq kagum bercampur geli dan akhirnya menghentikan propaganda tentang kemakhlukan Al-Qur’an.



Disamping lima prinsip dasar (ushulil khomsah) dan Al-Qur’an adalah makhluk, ada beberapa ajaran-ajaran mereka yang lain, diantaranya :

a. Menolak memberikan sifat kepada Allah (Maha Mendengar, Maha Melihat, dsb) karena hal itu dianggap menodai ke Esa-an Allah.

b. Baik dan buruk itu berdasarkan akal.

c. Orang yang berdosa besar akan kekal dalam neraka

d. Perbuatan manusia itu usaha bebas sendiri.

e. Allah tidak bisa dilihat walaupun di Akhirat kelak.

f. Surga dan neraka tidak kekal.

g. Alam semesta itu qadim.

0 komentar:

geomap

Template by : kendhin x-template.blogspot.com