Kamis, 13 Mei 2010

VII. Qiraat dan Pengajaran Al-Qur’an

Dari segi bahasa kata qira’ah berarti bacaan, masdar dari qara’a. Dari segi istilah, Az-Zaqrani memberikan pengertian qira’ah adalah sebagai suatu mazhab yang dianut oleh seorang qari’ dalam membaca Al-Qur’an yang berbeda satu dengan yang lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an serta disepakati riwayat dan sanad-sanadnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf maupun dalam pencucapan lafaznya.

Mazhab qira’ah yang terkenal adalah qira’ah sab’ah (tujuh), qira’ah asyarah (sepuluh) dan qira’ah arba’a ‘asyarah (empat belas). Perbedaan ini disebabkan oleh berbedanya kapasitas intelektual dan kapasitas masing-masing sahabat dalam mengetahui cara membaca Al-Qur’an. Hal ini juga berkaitan dengan tulisan Al-Qur’an dalam mushaf Usmani yang belum diberi baris atau tanda baca apapun, sehingga bacaan Al-Qur’an dapat berbeda dari susunan huruf-hurufnya, terutama pada saat wilayah Islam semakin meluas dan para sahabat yang mengajarkan Al-Qur’an menyebar ke berbagai daerah.

Qira’ah sab’ah (tujuh) adalah qira’ah yang merujuk kepada tujuh imam yang masyhur, yaitu :

1. Ibnu Katsir dari Mekkah, yang nama lengkapnya adalah Abu Ma’bad Muhammad Abdullah Bin Katsir Bin umar bin Zadin Ad-Dari Al Makki (45-120 H). Belajar qira’ah kepada sahabat Nabi Abu Said Bin Abdullah Bin Shaib Al Makhzumi.

2. Imam Nafi’ dari Isfahan (Madinah), yang nama lengkapnya adalah Abu Nu’aim Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim Al Laitsi Al Isfahani Al Madani(70-169 H). Belajar qira’ah kepada Zaid bin Qa’qa Al Qurri Abu Ja’far dan Abu Maimunah.

3. Imam ‘Ashim bin Abi nujub bin Bahdalah Al Asadi Al Kufi (wafat 127 H). Belajar qira’ah kepada Sa’ad bin Iyasy Asy Syaibani, Abu Abdurrahman Abdullah bin habib As Salami dan Zir bin Hubaisy.

4. Imam Hamzah dari Kufah, nama lengkapnya adalahAbu Imarah Hamzah bin Habib Az Zayyat Al Fardhi Attaimi (156-216 H). Belajar qira’ah kepada Imam Ashim Imam As Sabi’I Abu Muhammad Sulaiman bin Mahram Al A’mari.

5. Imam Kuzai dari Kufah, nama lengkapnya adalah Abu Hasan Ali bin Hamzah bin Abdullah bin Fairuz Al Farizi Al Kuzai An Nahwi (119-189 H). Belajar qira’ah pada imam Hamzah dan Imam Syu’bah bin Iyasy.

6. Imam Abu Amr dari Basrah, nama lengkapnya adalah Abu Amr Zabban bin Al A’la bin Ammar Al Basri(70-154 H). Belajar qira’ah kepada Al Baghdadi dan Hasan Al Basri.

7. Imam Abu Amir dari Damaskus, nama lengkapnya adalah Abu nu’aim Abu Imran Abdullah bin Amir Asy Syafi’I Alyas Hubi (21-118 H). Belajar qira’ah kepada Abu Darda’ dan Mughirah bin Syu’bah.

Qira’ah Asyarah (sepuluh) adalah qira’ah tujuh diatas ditambah dengan tiga imam lagi, yaitu :

8. Imam Ya’qub dari Basrah, nama lengkapnya Abu Muhammad Ya’qub bin Ishaq Al Basri Al Madhrami (wafat 205 H).

9. Imam Khalaf dari Kufah, nama lengkapnya Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Thalib Al Makki Al Bazzaz (wafat 229 H).

10. Imam Ja’far dari Madinah, nama lengkapnya Abu Ja’far Yasid bin Al Qa’qa Al Makhzumi Al Madani (wafat 230 H).

Qira’ah ‘Arba’a ‘Asyarah (empat belas) adalah qira’ah sepuluh diatas ditambah empat imam lagi, yaitu :

11. Imam Hasan Al Basri

12. Imam Ibnu Mahisy

13. Imam Yahya Al Yazidi

14. Imam Asy Syambudzi.

Para ahli sejarah menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira’ah adalah Imam Abu Ubaid Al Qasim bin Salam (wafat 224 H). Beliau menulis sebuah kitab dengan nama Al-Qira’at yang menghimpun 25 orang perawi.

Kriteria qira’ah yang diterima :

1. Sesuai dengan kaidah bahasa Arab.
2. Sesuai dengan salah satu mushaf Usmani.
3. Sanadnya sahih.

Bila salah satu syarat dari ketiga syarat diatas tidak dipenuhi maka qira’at nya dinyatakan syadz atau tidak sah dan ditolak.

Faedah perbedaan qira’ah :

1. Mempermudah kabilah-kabilah yang berbeda logat / dialek, tekanan suara dan bahasanya dengan bahasa Al-Qur’an.

2. Membantu dalam penafsiran dan ijtihad, karena perbedaan qira’at itu bisa jadi menjelaskan apa yang mungkin masih global dalam qira’ah lain. Seperti qira’ah Ibnu Mas’ud dalam surah Al Maidah ayat 38 : was-sariqqu wassariqatu faqtha’u aidiyahuma, dalam qira’ah lain dibaca faqtha’u aimanahuma.

3. Menunjukkan terjaga dan terpeliharanya Al-Qur’an dari penyimpangan, padahal Al-Qur’an tersebut mempunyai banyak segi bacaan.

4. Membuktikan kemukjizatan Al-Qur’an, baik dari segi makna atau lafaznya.

Tajwid

Tajwidul Qur’an adalah ilmu yang membahas cara membaca atau mengucapkan Al-Qur’an dengan baik dan benar, yang meliputi tempat keluarnya (makharijul) huruf, cara berhenti (waqaf), imalah, idgam, idhar, ikfak, iqlab, tarqiq, tafkhim, dsb.

Adab membaca Al-Qur’an :

1. Bersiwak sebelumnya.

2. Mempunyai wudhu.

3. Membaca ditempat yang suci dan bersih.

4. Membaca Ta’awudz sebelum mulai membaca Al-Qur’an

5. Membaca Basmallah pada permulaan awal surah, kecuali surah At-Taubah, sebab Basmallah termasuk salah satu ayat Al-Qur’an.

6. Membaca dengan khusuk, tenang dan takzim.

7. Menghadirkan hati dan meresapi maknanya.

8. Membaca dengan tartil (pelan dan tenang) dan dengan tajwid yang benar.

9. Membaguskan suara.

10. Mengeraskan suara bacaan.

Keadaan suci ketika membaca dan menyentuh Al-Qur’an

A. Membaca Al-Qur’an dalam keadaan berhadats kecil.

Membaca Al-Qur’an dalam keadaan berhadats kecil dengan tanpa menyentuhnya, hukumnya jaiz (boleh). Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah menyatakan bahwa “Para ulama tidak berselisih pendapat atau sepakat didalam masalah tersebut.”

B. Membaca Al-Qur’an dalam keadaan berhadats besar (junub).

Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid mengatakan : Jumhur ulama mengharamkannya.

Dalam Fiqhus Sunnah, karya Sayyid Sabiq terdapat keterangan : Imam Bukhary, ath-Thabrani, Abu Daud dan Ibnu Hazm membolehkannya.

C. Membaca Al-Qur’an dalam keadaan haid atau nifas

Hadits Jabir dari Nabi, beliau bersabda :

“Perempuan yang sedang haidh dan nifas tidak (boleh) membaca sesuatu dari Al-Qur’an” (HR ad-Daraquthni).

Hadits lain bersumber dari Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi dan Ibnu Majah dengan redaksi yang tidak jauh berbeda dengan hadis Jabir diatas. Dari situ jumhur ulama mengharamkan wanita yang sedang haid atau nifas membaca Al-Qur’an.

Imam Syaukani dalam Nailul Autar berkata : “Kedua hadits itu tidak patut untuk dijadikan hujjah untuk hukum “haram””. (Kedua hadits tersebut masih diperselisihkan ke-sahihannya).

D. Menyentuh Al-Qur’an dalam keadaan ber hadats kecil dan besar.

Dalil yang mengharamkan menyentuh Al-Qur’an dalam keadaan ber hadats kecil maupun besar masih diperselisihkan dan cenderung tidak kuat.

Dari segi untuk ke hati-hatian dan dari adab kesopanan sebaiknya ketika menyentuh dan membaca Al-Qur’an sedapat mungkin dalam keadaan suci dan punya wudhu.

Menerima upah dari mengajarkan Al-Qur’an

Abu Laits Nashrun bin Muhammad as-Samarqandi dalam kitabnya Bustanul Arifin menyatakan bahwa mengajarkan Al-Qur’an itu ada tiga macam :

1. Mengajarkan Al-Qur’an ikhlas karena Allah semata dan tidak meminta upah.

2. Mengajarkan Al-Qur’an dengan meminta upah.

3. Mengajarkan Al-Qur’an dengan tanpa syarat, jika dikasih upah diterima.

Macam pertama mendapat pahala Allah atas perbuatannya dan yang demikian itu meneladani perbuatan para nabi.

Macam kedua diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama dahulu (mutaqaddimun) menetapkan “tidak boleh”. Sedangkan sebagian ulama kemudian (mutaakhkhirun) menetapkan “Boleh” seperti : Ashnan bin Yusuf, Nashrun bin Yahya dan Abu Nashr bin Salam.

Macam ketiga disepakati “boleh” oleh jumhur ulama.

0 komentar:

geomap

Template by : kendhin x-template.blogspot.com