Jumat, 14 Mei 2010

VII. Aliran Syiah

Syiah artinya pendukung, maksudnya pendukung Ali bin Abi Thalib. Pada akhir masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan, seorang Yahudi yang bernama Abdullah bin Saba menyatakan diri masuk Islam. Sewaktu masih menganut agama Yahudi ia pernah mengatakan bahwa Yusya’ bin Nun adalah seorang yang diberi wasiat oleh Nabi Musa untuk melanjutkan memimpin Bani Israil. Setelah masuk Islam, dia menghembuskan doktrin bahwa Ali telah menerima wasiat dari Nabi Muhammad sebagai khalifah sepeninggal beliau. Lebih dari itu Abdullah bin Saba mengajarkan bahwa pada diri Ali itu mengandung unsur ketuhanan.



Abdullah bin Saba mengembara ke kota-kota Islam seperti Mesir, Basrah dan Kufah menyebarkan ajarannya itu. Pada tahun ke enam masa kekhalifahan Usman bin Affan, kerabat Usman dari kalangan Bani Umayyah banyak yang menduduki jabatan penting, seperti gubernur, sekretaris, bendahara baitul mal. Tindakan para pejabat yang terdiri atas Bani Umayah kerabat Khalifah Usman banyak yang menyengsarakan rakyat dan dikenal korup. Pada tahun ke dua belas datanglah delegasi rakyat Mesir, Basrah dan Kufah mengadukan kezaliman para Gubernur mereka. Mereka menuntut agar Usman memecat dan mengganti mereka. Khalifah Usman menyanggupi tuntutan mereka dan mengeluarkan surat pemecatan Abdullah bin Abu Sarah, Gubernur Mesir. Sebagai penggantinya Khalifah Usman mengangkat Muhammad bin Abu Bakar. Delegasi penduduk Mesir pun pulang disertai Muhammad bin Abu Bakar, calon gubernur yang baru dengan membawa surat pemecatan dari Khalifah Usman.



Pada saat perjalanan kembali ke Mesir, ditengah jalan rombongan penduduk Mesir disalip oleh seorang penunggang kuda yang berkuda cepat menuju ke arah Mesir pula. Merasa curiga rombongan penduduk Mesir mengejar dan menangkap penunggang kuda itu. Setelah diinterogasi, pada kantung minumannya ditemukan surat perintah berstempel resmi Khalifah Usman yang isinya perintah untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar dan beberapa tokoh penduduk Mesir yang sebelumnya ikut datang ke Madinah.



Mengetahui hal itu penduduk Mesir dan Muhammad bin Abu Bakar tidak jadi meneruskan perjalanan pulang ke Mesir, melainkan kembali lagi ke Madinah. Khabar perintah pembunuhan dari Khalifah Usman itu pun cepat menyebar dan sampai pula pada rombongan penduduk Basrah dan Kufah. Mereka semua pun datang kembali ke Madinah.



Dengan suasana emosional mereka mengepung rumah Khalifah Usman dan meminta penjelasan atas perintah pembunuhan tersebut. Khalifah Usman bersumpah tidak menuliskan dan tidak pernah menyuruh seseorang untuk membuat surat perintah tersebut. Kecurigaan mengarah kepada Marwan bin Hakam, keponakan sekaligus menantu Khalifah Usman yang merupakan pemegang stempel ke khalifahan. Namun Khalifah Usman enggan untuk menyerahkan Marwan bin Hakam kepada pihak pengepung.



Ketegangan terus terjadi dan semakin memuncak dan berakhir dengan terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan oleh orang-orang yang mengepung rumahnya. Mayoritas kaum Muslimin akhirnya membaiat Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah namun Muawiyah bin Abi Sofyan tidak mau mengakuinya dan bahkan menyatakan dirinya sebagai khalifah.



Talhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mulanya turut membaiat Ali sebagai khalifah, kemudian mereka berdua menuntut jabatan sebagai gubernur Basrah dan Kufah, namun tuntutan mereka tidak dikabulkan oleh Khalifah Ali, dengan alasan tidak mau memberikan jabatan kepada orang yang berambisi dan menuntutnya.



Akhirnya Talhah dan Zubair memberontak kepada Ali dengan alasan menuntut bela atas terbunuhnya Usman bin Affan. Keduanya berhasil membujuk Aisyah Ummul Mukminin untuk turut bergabung dalam perang Jamal. Khalifah Ali pun mengirim tentara untuk memadamkan pemberontakan itu dan terjadilah pertempuran di kota Basrah. Pada perang Jamal pihak Khalifah Ali berhasil memenangkan pertempuran. Talhah dan Zubair terbunuh, sedangkan Aisyah Ummul Mukiminin dikembalikan dengan hormat ke Madinah.



Dalam perang Jamal, Khalifah Ali melihat tentaranya yang berasal dari penduduk Kufah paling loyal terhadap dirinya. Setelah perang Jamal Khalifah Ali memutuskan memindahkan ibukota pemerintahannya ke Kufah. Pada saat di Kufah sebagian orang Kufah yang telah terpengaruh oleh ajaran Abdullah bin Saba ada yang mendatanginya dan berlebihan dalam mendukung dan mencintainya dan bahkan ada yang mengatakan bahwa “engkau Ali adalah tuhan”. Ketika khalifah Ali bertanya kepada mereka, “Siapa kalian ?” mereka menjawab, “Kami adalah syiah (pendukung) Ali.” Sejak itu kelompok yang dikenal sangat fanatik kepada Ali bin Abi Thalib disebut sebagai “Syiah”



Kaum Syiah pengikut Abdullah bin Saba dikenal sebagai Syiah Sabaiyah. Syiah Sabaiyah ini termasuk dalam kelompok Syiah Ghulat (ekstrim) yang sampai pada taraf menuhankan Ali bin Abi Thalib. Syiah Ghulat mempercayai adanya reinkarnasi (hulul) unsur ketuhanan pada Ali dan keturunannya.



Syiah Bayaniah, pengikut Bayan bin Sam’an menyatakan bahwa Tuhan tercipta dari cahaya yang berbentuk tubuh sebagaimana manusia dan semuanya akan hancur terkecuali ‘wajah’ nya saja.



Syiah Mughiyitah pimpinan Al-Mughirah bin Said mengatakan Tuhan itu laki-laki, berjisim (bertubuh) dari cahaya, diatas kepalanya ada mahkota yang juga dari cahaya, memiliki jantung yang memancarkan ilmu-ilmu hikmah.



Mereka mengambil dari makna literal ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan tentang Tuhan dan menjadi penganut anthropomorpisme (menyerupakan Tuhan seperti manusia). Mereka jatuh pada tasybih (penyerupaan Tuhan dengan makhluk), faham yang demikian dinamakan Musyabbihah. Mereka juga jatuh pada tajsim (menetapkan Tuhan ber jism / bertubuh), faham yang demikian disebut Mujasimah.



Syiah Imamiah berpendapat bahwa yang berhak menjadi Khalifah adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Mereka menganggap Abu Bakar, Umar dan Usman telah menyerobot hak khilafah Ali bin Abi Thalib sehingga syiah imamiah sangat membenci dan suka mencaci-maki para Sahabat Nabi tersebut.



Syiah Itsna Asyariyyah (dua belas imam) menetapkan dua belas imam Syiah yang dianggap maksum, yaitu :

1. Ali bin Abi Thalib

2. Hasan bin Ali

3. Husein bin Ali

4. Ali Zainal Abidin bin Husein

5. Muhammad Al-Baqir

6. Ja’far Shodiq

7. Musa Al-Kazhim

8. Ali Al-Ridha

9. Muhammad Al-Jawad

10. Ali an Naqi

11. Hasan Al-Asykari

12. Muhammad bin Hasan Al-Asykari, Al-Mahdi Al-Mukthadhar, imam yang kedua belas ini dipercaya ghaib (menghilang) di Samarah dan dipercaya akan muncul kembali sebagai Imam Mahdi Al-Muktadhar (yang ditunggu) menjelang akhir jaman.



Namun kaum syiah berbeda pendapat mengenai siapa imam-imam syiah keturunan Ali yang diakui sebagai imam, Syiah Ismailiyyah menetapkan Ismail bin Ja’far Shadiq sebagai imam yang syah. Dalam perkembangan selanjutnya Syiah Ismailiyyah ini pecah lagi menjadi beberapa sekte yaitu Syiah Bathiniyyah, Karmatiyyah, Qaramithah dan Ta’limiyyah. Disebut Bathiniyyah karena keyakinan mereka bahwa imam-imam mereka yang maksum mengetahui ta’wil ayat-ayat Al-Qur’an secara ‘isoterik’ atau imam mereka memahami makna ‘batin’ dari Al-Qur’an. Kelompok Syiah Ismailiyyah-Batiniyyah inilah yang dikemudian hari berhasil mendirikan pemerintahan Syiah Buwaitih-Fatimiyyah di Mesir, lepas dari kekuasaan Bani Abbas di Baghdad.



Kelompok Syiah yang lebih moderat dan dekat dengan faham suni adalah Syiah Zaidiyah, pengikut Zaid bin Ali Zainal Abidin. Imam Zaid dikenal sebagai ahli fiqih dari kalangan syiah yang fahamnya dekat dengan faham suni. Imam Zaid berpendapat bahwa walaupun Ali lebih berhak menjadi khalifah, namun kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Usman tetap syah. Jadi Imam Zaid membolehkan mengangkat imam yang utama walaupun bukan yang paling utama.



Kelompok Syiah yang tidak setuju dengan pandangan Imam Zaid ini dikenal sebagai Syiah Rafidah (menolak) yaitu menolak pendapat imam Zaid dalam masalah imamah. Kelompok Syiah Rafidah ini dikenal paling suka mencaci maki Sahabat Nabi (terutama Abu Bakar dan umar) yang dianggap telah menyerobot hak kekhalifahan Ali bin Abi Thalib dan dikenal banyak memalsukan hadits untuk memperkuat pendapat kelompoknya.



Kaum Syiah memperbolehkan “taqiyyah” yaitu menyembunyikan mazhab Syiah mereka, apabila keadaan tidak memungkinkan dan mengancam keselamatan dan eksistensi mereka. Pada masa kekhalifahan Al-Mustashim (609-659 H), salah seorang menteri kepercayaannya adalah Muayyidin Al-Alqami, seorang penganut Syiah Rafidah yang ber “taqiyyah” menyembunyikan faham Syiah Rafidahnya. Menteri ini selalu berhubungan secara rahasia dengan orang-orang Mongol dan mengatur siasat agar orang-orang Mongol dapat memasuki Baghdad. Tujuannya agar kekuasaan Bani Abbas yang sunni runtuh dan dia menginginkan agar kekuasaan beralih ke tangan orang-orang alawiyin (keturunan Ali). Konspirasi itu berhasil dengan baik, pada tanggal 10 Muharram 656 H akhirnya Baghdad jatuh ketangan orang-orang Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan.



(Uraian yang lebih rinci dan detail tentang jatuhnya kota Baghdad ketangan Mongol dapat dibaca pada buku Tarikh Khulafa’ –Sejarah Para Khalifah- karangan Imam Jallludin As Suyuthi, pada Bab Khalifah Al-Mustashim)



Kaum Syiah yang sekarang banyak terdapat di Iran adalah Syiah Itsna Asyariyyah yang mempercayai bahwa imam imam mereka adalah wakil dan mendapat “legitimasi” dari Imam Syiah kedua belas yang sedang ghaib. Fiqih mereka mengikuti Imam Ja’far Shadiq dan Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin. Kaum Syiah hanya mau menerima hadits dari riwayat ahlul bait atau dari sahabat Nabi yang dikenal setia mendukung Ali seperti Salman Al-Farisi, Ammar bin Yasir dan Abdullah bin Abbas.

0 komentar:

geomap

Template by : kendhin x-template.blogspot.com