Jumat, 14 Mei 2010

VIII. Aliran Murji’ah

Murji’ah berasal dari kata arja’a yang berarti penundaan atau penagguhan. Kaum Murji’ah berendapat bahwa seorang muslim yang melakukan dosa besar status ke-Islaman ditangguhkan, apakah masih termasuk muslim atau sudah menjadi kafir. Keputusannya diserahkan kelak kepada Allah di hari perhitungan di akhirat.

Setelah Terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, timbul kemelut politik yang berlanjut dengan perang Nahrawan dan perang Shiffin dan munculnya firqoh Syiah dan Khawarij. Setelah Khalifah Ali terbunuh oleh kaum Khawarij, Bani Umayyah menduduki singgasana kekhalifahan dengan cara paksa dan bertindak represif.

Antara Syiah, Khawarij dan Bani Umayyah satu sama lain saling bermusuhan dan saling menumpahkan darah. Ditengah kondisi yang demikian muncullah firqoh Murji’ah yang bersikap netral tidak memihak ke salah satu pihak yang saling bertikai tersebut dan tidak mau terlibat dalam pertikaian politik yang sedang terjadi.

Mereka menegaskan posisi politiknya dengan menyatakan bahwa mereka mengakui pemerintahan Bani Umayyah karena kenyataannya Bani Umayyah adalah Khalifah yang sedang berkuasa.

Mereka tidak memberi penilain terhadap semua kelompok yang bertikai. Mereka juga mengatakan bahwa kaum muslimin yang tidak kuasa melawan kekuasaan Bani Umayah yang telah merebut kekhalifahan dengan kekerasan dan banyak berbuat dzalim tidaklah mengurangi nilai keiimanannya.

Pokok pikirannya ini kemudian berkembang menjadi theologi Murji’ah yang berpendapat bahwa iman itu cukup dengan keyakinan yang mantap didalam hati, adapun perkataan dan perbuatan tidak termasuk dalam iman. Sebagaimana amal kebaikan tidaklah membawa manfaat bagi orang yang kafir, mereka juga berpendapat bahwa dosa-kemaksiatan tidaklah mempengaruhi keimanan seorang muslim yang hatinya tetap mantap pada Islam.









Firqoh Murjia’h terbagi dalam beberapa sekte, diantaranya :

a. Yunusiah, pengikut Yunus bin ‘Ain An Numairi, berpendapat bahwa iman itu ma’rifat kepada Allah, tunduk dan cinta dalam hati secara yakin. Seseorang yang berbuat maksiat tidaklah merusak keimanannya.

b. Ghassaniah, pengikut Ghassan Al-Murji, berpendapat iman itu adalah ikrar atau mencintai dan membersihkan. Iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang. Masalah-masalah diluar iman, tidaklah mempengaruhi kepada iman. Seperti tuhan mewajibkan naik haji, tapi ada orang yang tidak tahu apakah Ka’bah itu di India atau di negara lain, maka orang tersebut tetap sebagai mukmin bukan kafir.

c. Tsaubaniah, pengikut Abi Tsauban Al-Murji, berpendapat bahwa iman adalah ma’rifah atas dasar ikrar atas Allah dan Rasul-Nya. Masalah amal bagi sekte ini merupakan soal kedua saja. Abi Mu’az at-Tumany dengan pengikut-pengikutnya yang dikenal dengan at-Tumaniah berpendapat, iman berintikan ma’rifah, membenarkan, mahabbah, ikhlas dan iqrar atas segala yang dibawa oleh Rasulullah. Inilah inti dari iman, selain itu tidak akan membawa kepada kekufuran. Seseorang yang menyembah kepada matahari atau bulan pada dasarnya bukan kafir tetapi mengandung benih kekafiran.

d. Al-Marisah, pengikut Bisyr Al-Murisy tidak begitu berbeda dengan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan sebelumnya diatas. Mereka mengatakan, iman itu adalah membenarkan dengan hati dan ikrar dengan lisan. Kekafiran terjadi kalau menentang dan ingkar. Tapi kalau seseorang sujud kepada berhala atau matahari, dia tidak kafir tetapi menyandang tanda-tanda saja dari kekafiran.

e. As-Shalihiah, pengikut Abdul Hasan As-Salehi, berpendapat iman itu mengetahui Tuhan dan kalau kufur adalah tidak mengetahui Tuhan. Mereka berpendirian bahwa iman adalah ibadat dalam arti ma’rifah kepada Tuhan. Sedang amal saleh seperti shalat, zakat, puasa, haji semuanya hanyalah gambaran dari kepatuhan tidak termasuk ibadah kepada Allah. Sedang ibadahnya sendiri itu adalah iman.

0 komentar:

geomap

Template by : kendhin x-template.blogspot.com